Senin, 22 April 2013

SMA 5 Yogya Ada di Jakarta ;)

Berkumpul dengan teman lama yang lama nggak ketemu adalah seru. Alhamdulillah, tahun 2013 begini sudah tak susah menjalin silaturahmi dengan siapapun yang ada di manapun.

Meski begitu, saya yakin budaya reuni, kopi darat, atau bisa disebut temu kangen istilah tak akan lekang oleh zaman. Sekecil apapun forumnya, pasti akan seru.

Seperti yang beberapa bulan lalu saya alami. Saya mencoba mengumpulkan teman-teman SMA seangkatan yang kini sama-sama tinggal di Jakarta.

Mungkin ada sekitar 10 orang. Tapi yang berhasil terkumpul hanya 4 orang :)

Tak apa, tetap saja namanya reuni.
Dari kiri ke kanan, Wulan, Riesa, Sukma, dan Pank :)
Jepret!


Kami (Tak) Sekedar Makan Siang dan Baca Komik di Bogor

Lama sekali terakhir saya menulis di sini. Atau lebih tepatnya, sudah lama sekali saya tidak menulis selain menulis berita di media online terbesar di Indonesia yang biasa disebut detikcom.

Lupa kapan terakhir saya menulis hal-hal remeh tentang diri saya, tentang teman-teman saya, atau tentang ini itu yang mengelilingi saya.

Ya sudahlah, sudah cukup permintaan maaf yang ntah saya tujukan kepada siapa ini. Atau mungkin lebih kepada diri saya sendiri, pembaca setia blog saya sendiri :)

Kali ini, saya ingin kembali bercerita tentang perjalanan saya. Ya, tak perlu dijelaskan kenapa saya selalu jatuh cinta dengan perjalanan. Bukan tentang titik di mana saya berangkat atau di mana tujuan saya. Tapi benar-benar tentang perjalanan itu sendiri.

Kalau boleh, saya juga lebih tertarik bicara tentang alasan di balik perjalanan saya.

Perjalanan saya terakhir adalah perjalanan Jakarta-Bogor. Lebih tepatnya: Kamar kos di Warung Buncit, Jaksel-Stasiun Bogor.

Berawal dari obrolan saya, dan dua saudara kos saya yaitu Santi Wijayanti dan Tetin Oktarina :) pada Jumat malam kemarin. Tepatnya19 April 2013 di kamar A, kos Hajimang.

Tetin: "Besok kita jalan-jalan yuk, tapi jangan mall."

Saya: "Bogor yuuukkk.."

Santi: "Tapi jangan pagi-pagi ya, masih pengen beberes."

Saya: "Iya siangan aja, kan deket tuh."

Tetin: "Ngapain mbak di sana."

Saya: "Makan siang aja sambil baca komik, hehehe.." (di dekat stasiun Bogor ada cafe and library)

Kami bertiga: "Asyiikkk!!"


Okei, jadi pembicaraannya memang tak persis seperti itu. Tapi intinya begitu hehe..Malam itu saya tidur di kamar Santi dan kami kompak bangun siang. Eh, saya bangun lebih siang karena Santi masih sempat menyelesaikan ini itu.

Pukul 11.30 WIB kami berangkat dari kos dengan wajah cupu secupu-cupunya. Kenapa? Kami seperti para adik bungsu di kos kami. Para mbak kos heran dengan tingkah kami. Sesiang itu ke Bogor.

Saat kami bilang ke Bogor cuma mau makan, mereka heran dan menyarankan beberapa tempat piknik dan makan enak yang bisa kami datangi di Bogor.

"Sudah besok saja lah, lebih pagi. Ini sih kesiangan," kata mbak-mbak kos. Dan juga enyak dengan tatapan heran.

Tapi kami seperti anak bungsu yang bandel, "Nggak apa-apa teh, cuma pengen makan siang habis itu balik Jakarta lagi kok. Memang nggak niat ke mana-mana," kata kami sambil nyengir lalu mlipir. 

So...here we goes :)

Di Bogor, makan siang dan membaca komik!




Tak sekedar baca komik dan makan siang kenapa?

Karena kami datang di saat yang kurang tepat. Hari Sabtu yang terik itu, rupanya ada konser musik reggae. Lingkungan taman di sekitar Stasiun Bogor yang biasanya terlihat seru dan enak buat duduk-duduk, jadi begitu ramai oleh anak-anak ABG yang peluk sana peluk sini. Asap rokok keluar lantang dari hidung dan mulut labil mereka. Hot pants di mana-mana. Ugh!

Berkali-kali terucap dari mulut kami, "Itu orang tuanya gimana ya kalau tahu anaknya begituan."

Tapi yasudahlah, kami harus memilih di antara dua. Sibuk menggunjingkan anak-anak itu atau sibuk baca komik sambil terus berucap 'naudzubillah'.


Sabtu, 02 Februari 2013

Kisah Marzuki, 30 Tahun Jadi Pengojek Rakit Bambu di Kali Ciliwung 

 

Jakarta boleh sibuk memikirkan monorel dan busway. Namun, di sisi timur Jakarta masih ada rakit bambu yang menjadi andalan warga sebagai alat transportasi utamanya. 

Siang ini sebuah rakit bambu sibuk hilir mudik mengantarkan para penumpangnya menyeberang dari Kampung Pulo, Kampung Melayu ke sisi Bukit Duri, Tebet Jakarta Timur.


Marjuki, pria berusia 56 tahun ini sudah menjadi penarik rakit di Sungai Ciliwung selama 30 tahun. Dia bersama kakak dan menantunya bergantian mengoperasikan rakit bambu buatannya sendiri. 


Tak perlu dayung, seutas tali tambang plastik yang terbentang di masing-masing sisi sungai menjadi tumpuannya untuk menggerakkan rakit. Arus sungai yang deras membuat pria bertelanjang kaki ini tampak harus mengerahkan tenaganya lebih kuat.

"Musim begini arusnya deras neng, jadinya berat (menariknya). Kalau sedang kemarau nggak seberat ini nariknya," ujar Marzuki sambil terus menarik tali tambang.


Marzuki bercerita, dalam sehari dia bisa menyeberangkan lebih dari 50 orang per harinya. "Ongkosnya Rp 500 sekali nyebrang, kan cuma deket aja. Paling orang mau ke warung. Atau kondangan," katanya.


Dalam sehari, Marzuki mengaku bisa mendapatkan uang hingga Rp 200 ribu. Namun jika cuaca hujan dan tak banyak yang berani menyeberang, Rp 100 ribu masih bisa didapatkannya.


Setiap hari, Marzuki mulai menerima penumpang pada pukul 06.00 pagi hingga maghrib. "Tapi kalau ada yang kondangan, bisa pesan. Nanti kita bisa narik lagi walau sudah malam," lanjutnya.


Rakit bambu sepanjang 15 meter dan lebar 2 meter ini dibuatnya sendiri. Setiap tahun saat bulan Ramadhan, dia akan membuat rakit baru.


"Kalau beli bambu ke Cibinong. Buat sampai rampung paling habis Rp 2 juta, terus saya ikat-ikat sendiri," cerita Marzuki.


 Tulisan ini dipublish juga di sini :)

Minggu, 25 Desember 2011

Kalau Boleh..

 
 
Tuhan,
ketika aku jatuh...

... kalau boleh, aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Begitu kencang, hingga seolah aku menggunakan semua sisa tenaga dan air mata yang kumiliki untuknya.

kalau boleh, aku ingin berlari sejauh-jauhnya..Sejauh mungkin hingga satuan jarak apapun tak akan bisa menghitungnya.

kalau boleh, aku ingin marah sekuat-kuat emosi dan nafsu yang ada di dalam hati. Sekuat mungkin hingga seakan-akan aku marah karena seluruh dunia begitu jahat padaku.

kalau boleh, aku akan menjadi sangat sedih. Begitu sedih hingga sang bahagia pun takut pada kesedihanku.

kalau boleh, aku akan seketika menyerah. Menyerah, hingga bahkan untuk sekedar bermimpi pun aku enggan.

Tapi Tuhan...

Aku mengerti satu hal. Kau tak akan suka kepada aku yang seperti itu.
Lain hal yang aku mengerti adalah, aku sangat sangat dan sangat mencintaiMu..
MencintaiMu adalah segalanya untukku.
Aku begitu mencintaiMu hingga tak sukanya Engkau padaku adalah ketakutan terbesarku.

Dan ditinggalkan olehMu adalah sesuatu yang....menuliskannya pun aku takut.

Catatan usang Sukma, Juni 2011

Jumat, 28 Oktober 2011

Menyentuh Langit Bersama Ibu


Malam sudah larut, tapi Kinan masih belum tampak mengantuk. Gadis kecil 5 tahun itu malah bertanya ini itu tentang dongeng yang ayah ceritakan.

Ayah yang mulai kehabisan cerita akhirnya memanggil ibu.

"Bu.. Kinan masih belum merem juga nih..," keluh ayah sambil mengusap-usap dahi anaknya. Ayah duduk di ranjang memandangi Kinan yang meringis lalu merengek, "Kinan mau dongeng lagi yah,"

"Sama ibu ya Nak, ayah kok rasanya lelah sekali," ayah memandang anaknya dengan pandangan lelah.

"hehe..mata Ayah merah," gadis kecil ini pun mengangguk.

Ibu yang dari tadi berdiri di ujung pintu kamar akhirnya mendekati ranjang kecil anaknya. Ibu duduk di sebelah Kinan lalu memijit pelan kaki gadis kecilnya yang sedang manja itu, lalu berkata pada ayah, "Istirahatlah yah.."

Si ayah mengangguk, mengecup mata mungil Kinan, lalu sebentar diusap lembut kepala istrinya dan kemudian ayah keluar dari kamar.

Kinan tersenyum manja pada ibunya.
"Ibu, punya dongeng baru?" ia bertanya penuh harap sambil memeluk guling kesayangannya.

"Kita ngobrol dengan langit saja yuk," kata ibu sambil membuka jendela yang ada persisi di sisi ranjang.

Kinan bingung, tapi mengangguk.

Ibu menyibakkan tirai jendela lebih lebar agar langit bisa terlihat luas. Lalu ia merebahkan tubuhnya di sebelah sang anak yang langsung merapatkan tubuh kecilnya ke tubuhnya. Dipeluknya Kinan dari belakang. Kini keduanya melihat langit malam yang berbulan sabit dan penuh bertabur bintang.


"Lihatlah Nak, betapa bulan dan bintang terlihat sangat indah dari sini," ibu menatap langit sambil terus mengusap lembut lengan Kinan.

Kinan menoleh cepat ke wajah ibu, lalu mengikuti arah pandangan ibu ke langit. "Iya bu..indah..," gadis kecil itu pun mengangkat tangannya seperti ingin menggapai benda-benda langit yg terlihat.
"Tapi kenapa mereka sangat jauh Bu, Kinan tak bisa pegang..Kinan ingin pegang mereka Bu."

Ibu tersenyum. "Iya, mereka jauh Nak..harus belajar yang rajin dulu, lalu jadi astronot, biar nanti Kinan cantik bisa terbang ke bulan."

"Kalau mau bertemu bulan harus jadi astronot ya, Bu? Tita-cita Kinan kan ingin jadi guru," tangan Kinan masih menggapai-gapai bintang.

Ibu tersenyum dan berkata, "Sekarang pun Kinan bisa memegang mereka."
Ibu lalu ikut mengulurkan tangannya ke atas lalu menekuk jemarinya mengikuti bentuk bulan sabit.
"Nah, ibu sudah memegang bulan sabitnya. Ke sini, mana tangan Kinan?"


Ibu menyesuaikan sudut pandangnya dengan sudut pandang si anak. Setelah merasa sudut pandangnya sama, ibu menuntun tangan mungil anaknya ke tangannya yang telah memegang bulan sabit.
"Lihat, Kinan sekarang sudah memegang bulan sabit," bisik ibu.

Sambil menahan tangannya di bulan sabit, Kinan menoleh sebentar pada ibu dan tersenyum lebar.

"Iya Bu, sudah Kinan pegang!" Kinan menjejakkan kaki saking senangnya.

Ibu pelan-pelan menarik tangan buah hatinya dari bulan sabit kembali ke dekapannya.

Sambil memeluk tubuh kecil Kinan, ibu berkata pelan setengah berbisik ke telinga anaknya.

"Nak, kau bisa merasakan keindahan bulan dan bintang dari sini. Kau bahkan tak perlu menyentuh mereka untuk bisa merasakan keindahannya. Mereka jauh, tapi keindahannya begitu kuat sehingga bisa menjangkau Kinan, di mana pun Kinan berada."

"Seperti ayah dan ibu yang tak mungkin bisa bersama Kinan selamanya. Tapi kasih sayang kami begitu kuat, sehingga walaupun tak bisa bersentuhan, cinta kami akan menjangkaumu, Nak. Di mana pun Kinan berada."

Kinan menoleh ke ibunya dengan wajah penuh tanya.


Ibu memandang mata anak semata wayangnya lekat-lekat dan menangkap kebingungan si anak.
"Doa Nak, doa lah yang akan mengantarkan cinta ke mana pun dan kepada siapa pun."



"He em," Kinan mengangguk kuat.

Tangan kecilnya menengadah lalu terlantun, "Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa..amiiin..."
(red. Ya Tuhanku.. Ampunilah aku, ibu ayahku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mengasihi aku saat kecil)

Ibu pun merengkuh tubuh kecil Kinan, lalu berbisik dalam hati, "soleh dan doamu lah Nak, yang akan mengantarkan ibu dan ayah kepada keindahan hakiki."


*dalam rangka bersyukur menjadi anakmu, Mah..Tah..*

Selasa, 23 Agustus 2011

Mbul, Ratu Romut Tak Secantik Ibu...


Setelah menyandarkan sepeda mininya di garasi, Rindu masuk rumah. Dengan ransel merah di bahu, tangan kanan Rindu menenteng kotak bekalnya yang telah kosong.

Siang ini Rindu ingin cepat bertemu Gembul. Gembul, boneka beruang cokelat yang sudah lusuh. Bulunya sudah tak sehalus dulu. Bahkan bulu di beberapa bagian tubuhnya sudah botak.

Walau begitu, Rindu sangat sayang pada Gembul. Tak peduli kini Gembul tak selucu dan semanis dulu. Rindu tetap lebih memilih Gembul sebagai pendengar cerita-ceritanya tiap pulang sekolah.

Gembul sangat pendiam. Beruang kecil itu tak akan menyela Rindu ketika asyik bercerita. Gembul juga tak akan protes kalau cerita Rindu mulai tak masuk akal. Selain itu, Gembul nyaman dipeluk. Badan gendut yang kini baunya sama dengan bau badan Rindu, membuat gadis kecil itu tak bisa jauh darinya.

Ajakan main oleh segerombolan teman ditolak Rindu. Siang ini Rindu punya banyak cerita tentang kerajaan Romut di belakang sekolah. Sebelum lupa, Rindu harus cepat-cepat bertemui Gembul dan menceritakan semuanya.

"Mbul, tadi siang kerajaan Romut berhasil membangun menara kastil baru. Ada empat jendela dan dua pintu besar. Pasti prajurit Romut lelah sekali hari ini..," Rindu memulai ceritanya sambil menaruh Gembul di pangkuannya.

"Pasukan Romut tadi mengisi menara itu dengan banyak makanan. Barisan mereka semakin rapi. Sepertinya mereka rajin berlatih. hehe...," tangan Rindu tak berhenti mengelus kepala Gembul.

"Dan tau kah kau Mbul, Sang Ratu tadi mengundangku masuk ke menara barunya untuk makan siang bersama seluruh pasukannya. Tapi Rindu bilang, Rindu sudah bawa bekal masakan ibu dari rumah. Rindu makan di sini saja..yang penting tetap makan sama-sama..Jadi, tadi Rindu makan siang bersama pasukan Romut, Mbuul...," Rindu menaikkan nada suaranya karena senang.

Gembul masih diam. Bibir cokelatnya membentuk senyum yang sama. Tapi mata Rindu menangkap ada tarikan lebih di sana.. "ah Gembuul..kau senang dengan ceritaku yaa? tapi Rindu mengantuk..," Rindu merebahkan badan sambil tetap memeluk Gembul.

"Mbul..Rindu kangen Ibu..Semoga sepulang kerja nanti ibu tidak terlalu lelah ya..Rindu ingin Ibu tau tadi Rindu makan siang di kerajaan Romut..Rindu juga ingin ibu tahu kalau Ratu Romut sangat cantik..tapi tak secantik ibu..,"

Tak lama, Rindu terlelap dengan simpul senyum samar.

Jumat, 19 Agustus 2011

Gandeng Aku, Kak...!!




Masih sama seperti pagi kemarin, aku dan kakak berjalan kaki berangkat ke sekolah. Aku kelas 1 dan kakak kelas 4 di sekolah dasar yang sama. Kakak menggandengku sepanjang jalan, digenggamnya dengan erat tanganku seperti takut akan terlepas.

Aku memang tidak bisa kalau hanya berjalan begitu saja. Sesekali harus melompat, entah melompati lubang di jalan atau melompat untuk memetik bunga yang lebih tinggi dari tinggi badanku. Sesekali harus berlari, entah mengejar kupu-kupu, atau sekedar minta dikejar kakak.

"Jaga baik-baik adikmu Wulan, jangan sampai Lintang jatuh lagi," pesan ibu saat kami berpamitan ke sekolah pagi tadi. Pesan itu sepertinya yang membuat kakakku menggenggam tanganku lebih erat dari biasanya. Tangan kami yang bertautan sepanjang jalan mulai basah oleh keringat. Padahal perjalanan masih jauh.

Aku yang mulai tak nyaman mulai protes. "Lepaskan kak! capek digandeng terus, aku janji tidak akan jatuh..," aku merajuk sambil menarik tanganku.

Kakak hanya diam saja, sambil terus menahan genggamannya.
"Kak......!," aku mulai marah. Luka di lututku yang belum kering sesekali masih perih kalau tersenggol rok sekolah. Membuatku berjalan dengan cara yang aneh.

"Kenapa Lintang begitu jalannya, Lan?" teriak tetanggaku dari dalam warungnya yang kami lewati.
"Lututnya bopeng, Mak. Kemarin jatuh tersandung batu," kakakku tak kalah kencang berteriak.

"Kak..Lintang janji tidak akan lari..lepaskan kak," aku masih merajuk, kali ini tanpa menarik tangan. Kakak masih diam saja tak menggubrisku. Kakak malah menggoyang-goyangkan tangan kami ke depan dan ke belakang sambil bernyanyi-nyanyi kecil.

Sambil terus cemberut, aku pasrah digandeng kakak sampai tiba di sekolah. Begitu kami berdua masuk pagar sekolah, sekuat tenaga kutarik tangan kananku yang mulai licin karena keringat. Kakakku yang tak siap tak bisa menahan genggamannya lagi. Setelah lepas, aku melompat girang dan berlari kencang ke arah kelas.

"Dadaah kak....nanti Lintang pulang sendiri saja. Lintang tidak mau digandeng kakak lagi...Capek!" teriakku sambil berlari makin kencang, dan "Brukkk!"
Aku terjerembab di tengah lapangan sekolah. Aku terngkurap tepat di genangan air sisa hujan semalam. Badanku penuh lumpur, wajahku perih.

"Kakaaak.......!huwaaa....sakiiiiitt....!" tangisku seketika. Kakakku langsung berlari menghampiriku. Masih tak berkata apa-apa, dia terburu-buru membersihkan wajahku dari lumpur dengan saputangannya. Kakak masih diam, dan aku menangis semakin kencang.

Diangkatnya badan kecilku yang kotor oleh lumpur. Kakak menggendongku di punggungnya. Bajunya pun kotor karena lumpur di bajuku.
Aku masih menangis..Lalu tiba-tiba kakak menarik tanganku yang menggelayut di lehernya, dan mencium tanganku dengan lembut. "Sudah..cup...Maafkan kakak, lain kali kakak akan lebih kuat menggandengmu, Lintang,"

Tangisku sempat terhenti, lalu pecah lagi. "Kakak....maafkan Lintang....," teriakku, sambil memeluk lehernya. Kakak hanya mengangguk kecil dan berjalan keluar gerbang sekolah. Kami pulang.

Chat With Sukma

Ini blog biasa, dengan misi sederhana..menulis sajalah. Semoga bermanfaat....=)