“Dan Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka katakanlah sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi (panggilan/perintah)Ku, dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk (bimbingan)”. (Al-Baqarah: 186)
Ayat ini meskipun tidak berbicara tentang Ramadhan seperti pada tiga ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 183-185) dan satu ayat sesudahnya (Al-Baqarah: 187), namun keterkaitannya dengan Ramadhan tetap ada. Jika tidak, maka ayat ini tidak akan berada dalam rangkaian ayat-ayat puasa seperti dalam susunan mushaf. Karena setiap ayat Al-Qur’an menurut Imam Al-Biqa’I merupakan satu kesatuan (wahdatul ayat) yang memiliki korelasi antar satu ayat dengan yang lainnya, baik dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Disinilah salah satu bukti kemu’jizatan Al-Qur’an.
Kedekatan Allah dengan hambaNya yang dinyatakan oleh ayat di atas lebih khusus daripada kedekatan yang dinyatakan dalam surah Qaaf ayat 16: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” yang bersifat umum. Kedekatan Allah dengan hambaNya dalam ayat di atas merupakan kedekatan yang sinergis, kedekatan yang aplikatif, tidak kedekatan yang hampa dan kosong, karena kedekatan ini terkait erat dengan doa dan amal shalih yang berhasil ditunjukkan oleh seorang hamba di bulan Ramadhan, sehingga merupakan motifasi terbesar yang memperkuat semangat ber Ramadhan dengan baik dan totalitas.
Dalam konteks ini, korelasi ayat doa dan kedekatan Allah yang khusus dengan hambaNya dengan ayat-ayat puasa (Ayatush Shiyam) paling tidak dapat dilihat dari empat hal berikut ini:
Pertama, Salah satu dari pemaknaan Ramadhan sebagai Syahrun Mubarok yang menjanjikan beragam kebaikan adalah Syahrud Du’a dalam arti bulan berdoa atau lebih jelas lagi bulan dikabulkannya doa seperti yang diisyaratkan oleh ayat ini. Karenanya Rasulullah saw sendiri menjamin dalam sabdanya: “ Bagi orang yang berpuasa doa yang tidak akan ditolak oleh Allah swt.” (HR. Ibnu Majah). Kondusifitas ruhiyah seorang hamba di bulan Ramadhan yang mencapai puncaknya merupakan barometer kedekatannya dengan Allah yang juga berarti jaminan dikabukannya setiap permohonan dengan modal kedekatan tersebut. Dalam kitab Al-Ma’arif As-Saniyyah Ibnu Qayyim menuturkan: “Jika terhimpun dalam doa seseorang kehadiran dan keskhusyuan hati, perasaan dan kondisi kejiwaan yang tunduk patuh serta ketepatan waktu yang mustajab, maka tidaklah sekali-kali doanya ditolak oleh Allah swt. Padahal di bulan Ramadhanlah kondisi dan situasi ‘ruhiyah’ yang terbaik hadir bersama dengan keta’atan dan kepatuhannya dengan perintah Allah swt.
Kedua, Ungkapan lembut Allah “ Sesungguhnya Aku dekat” merupakan komitmen Allah untuk senantiasa dekat dengan hambaNya, kapanpun dan dimanapun mereka berada. Namun kedekatan Allah dengan hambaNya lebih terasa di bulan yang penuh dengan keberkahan ini dengan indikasi yang menonjol bahwa hambaNya juga melakukan pendekatan yang lebih intens dengan berbagai amal keshalihan yang mendekatkan diri mereka lebih dekat lagi dengan Rabbnya. Padahal dalam sebuah hadits qudsi Allah memberikan jaminan: “Tidaklah hambaKu mendekat kepadaku sejengkal melainkan Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan berjalan melainkan Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari dan sebagainya”. (Muttafaqun Alaih)
Ketiga, Istijabah (falyastajibu li) yang dimaknai dengan kesiapan hamba Allah untuk menyahut dan melaksanakan setiap panggilanNya merupakan media dikabulkannya doa seseorang. Hal ini pernah dicontohkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Masing-masing dari ketiga orang tersebut menyebutkan amal shalih yang mereka lakukan sebagai media dan wasilah mereka berdoa kepada Allah. Dan ternyata Allah swt serta merta memenuhi permohonan masing-masing dari ketiga orang itu dengan ‘jaminan amal shalih yang mereka lakukan’. Padahal bulan Ramadhan adalah bulan hadirnya segala kebaikan dan berbagai jenis amal ibadah yang tidak hadir di bulan yang lain; dari ibadah puasa, tilawah Al-Qur’an, Qiyamul Lail, Zakat, infaq, Ifthorus Shoim dan beragama ibadah lainnya. Kesemuanya merupakan rangkaian yang sangat erat kaitannya dengan pengabulan doa seseorang di hadapan Allah swt. Dalam hal ini, Abu Dzar menyatakan: “Cukup doa yang sedikit jika dibarengi dengan kebaikan dan keta’atan seperti halnya garam yang sedikit cukup untuk kelezatan makanan”.
Keempat, Kata ‘la’alla secara bahasa menurut pengarang Tafsir Al-Kasyaf berasal dari kata ‘alla’ yang kemudian ditambah dengan lam di awal yang berarti ‘tarajji’ merupakan sebuah harapan yang langsung dari Zat Yang Maha memenuhi segala harapan. Logikanya, jika ada harapan maka ada semangat, apalagi yang berharap adalah Allah swt terhadap hambaNya sehingga tidak mungkin hambaNya menghampakan harapan Tuhan mereka. Karenanya rangkaian ayat-ayat puasa diawali dengan khitab untuk orang-orang yang beriman: “hai orang-orang yang beriman”. Dalam konteks ini, setiap hamba yang selalu mendekatkan diri dengan Allah tentu besar harapannya agar senantiasa mendapat bimbingan dan petunjuk Allah swt. Demikian redaksi ‘La’alla’ yang selalu mengakhiri ayat-ayat puasa termasuk ayat doa ini, menjadi korelasi tersendiri dalam bentuk keseragaman dengan ayat-ayat puasa sebelum dan sesudahnya ‘La’allakum Tattaqun, La’allakum Tasykurun, La’allahum Yarsyudun, dan La’allahum Yattaqun’.
Demikian pembacaan terhadap satu ayat yang disisipkan dalam rangkaian ayat-ayat puasa. Tentu tidak semata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa. Namun lebih dari itu, terdapat korelasi dan hikmah yang patut diungkap untuk memperkaya pemaknaan terhadap Ramadhan yang terus akan mendatangi kita setiap tahun. Karena pemaknaan yang komprehensif terhadap ayat-ayat puasa akan turut mewarnai aktifitas Ramadhan kita yang berdampak pada peningkatan kualitas keimanan kita dari tahun ke tahun. Saatnya momentum special kedekatan Allah dengan hamba-hambaNya di bulan Ramadhan dioptimalisasikan dengan doa yang diiringi dengan amal shalih dan keta’atan kepadaNya.
oleh:
Dr. Attabiq Luthfi, MA
"sedang mendekatkan diri pada-Nya,.atau lebih tepatnya sedang membuka kesadaran diri bahwa Dia begitu dekat denganku" (Sukma)
Mengerti, paham atau semacamnya seperti sebuah kata klise yang ternyata begitu rumit untuk dijabarkan. Atau lebih tepatnya kujabarkan. Apalagi untuk dipahami. Apalagi ketika ada dua manusia yang sedang berusaha untuk saling mengerti, itu berarti ada dua paham tentang pengertian yang akan bertarung. Jadi begitu rumit, menurutku.
Suatu saat aku bilang, mengertilah aku..di saat bersamaan kamu berkata, kenapa bukan kamu yang mengerti aku. Atau ketika aku ingin dibuat mengerti, tapi kamu merasa tak perlu membuatku mengerti. Kuanggap dia sedang tak peduli denganku..lalu kubilang, kenapa kamu tdk mengerti perasaanku yang ingin dibuat tenang olehmu?
Okey, aku sedang membuat rumit hanya dengan sebuah kata. Baiklah, akan aku coba menyederhanakannya, cobalah berpikir jika kamu menjadi aku. Atau aku akan berpikir jika menjadi kamu. Seperti itulah pengertian akan terwujud, mungkin seperti itulah awalnya kita bisa saling mengerti, saling menjaga perasaan. Karena kita sama-sama tak ingin sakit dan menyakiti.
Sayangku,aku sepenuhnya sadar bahwa kita berbeda seluruhnya. Mulai dari kita memang perempuan dan lelaki. Punya kromosom yang berbeda, menjadi awal dari segala perbedaan selanjutnya. Lalu latar belakang yang luar biasa berbeda, dan apapun yang membentuk pribadi kita adalah juga perbedaan yang tak bisa dipungkiri. Wajar kalau sudut penglihatan kita tentang sebuah kata ‘pengertian’ menjadi berbeda. Pada akhirnya aku hanya bersyukur dengan seluruh perbedaan ini karena tak mungkin aku membuatnya simetris. Simetris mungkin akan hanya akan menjemukan keduanya. Atau hanya akan timbulkan perang kompetisi karena tak ada beda, yang seharusnya membuat kita belajar mengerti beda yang ada.
Kini aku mengerti ke mana arah perbedaan ini kau arahkan. Kamu sedang mengajakku untuk simetris, sedangakn aku berada di beberapa langkah di belakangmu. Dan kamu ingin saat ini juga aku menjelma menjadi cerminan pola pikirmu. Aku tak mampu, bukan karena tak menganggapmu tak benar. Aku mengagumimu, tapi tak bisa menjelma menjadi persis dirimu. Aku sedang menyelaraskan diriku denganmu. Tapi ternyata waktu yang kau berikan begitu singkat. Bahkan aku tak sadar sudah habis, tanpa tanda darimu. Kau bilang ini selesai begitu saja. Sekali lagi, aku tak bisa menawar apapun. Sekali lagi memasrahkan perasaan ini padamu.
Sampai sekarang, masih mensyukurimu, mensyukuri karakter kita masing-masing, mensyukuri usaha kita selama ini untuk beriringan, mensyukuri waktu dan pelajaran berharga denganmu.
ps: masih menyayangimu