Rabu, 13 Juli 2011

Tak Akan Ada Simetris

Mengerti, paham atau semacamnya seperti sebuah kata klise yang ternyata begitu rumit untuk dijabarkan. Atau lebih tepatnya kujabarkan. Apalagi untuk dipahami. Apalagi ketika ada dua manusia yang sedang berusaha untuk saling mengerti, itu berarti ada dua paham tentang pengertian yang akan bertarung. Jadi begitu rumit, menurutku.

Suatu saat aku bilang, mengertilah aku..di saat bersamaan kamu berkata, kenapa bukan kamu yang mengerti aku. Atau ketika aku ingin dibuat mengerti, tapi kamu merasa tak perlu membuatku mengerti. Kuanggap dia sedang tak peduli denganku..lalu kubilang, kenapa kamu tdk mengerti perasaanku yang ingin dibuat tenang olehmu?

Okey, aku sedang membuat rumit hanya dengan sebuah kata 'pengertian'. Baiklah, akan aku coba menyederhanakannya, cobalah berpikir jika kamu menjadi aku. Atau aku akan berpikir jika menjadi kamu. Seperti itulah pengertian akan terwujud, mungkin seperti itulah awalnya kita bisa saling mengerti, saling menjaga perasaan. Karena kita sama-sama tak ingin sakit dan menyakiti.

Sayangku,aku sepenuhnya sadar bahwa kita berbeda seluruhnya. Mulai dari kita memang perempuan dan lelaki. Punya kromosom yang berbeda, menjadi awal dari segala perbedaan selanjutnya. Lalu latar belakang yang luar biasa berbeda, dan apapun yang membentuk pribadi kita adalah juga perbedaan yang tak bisa dipungkiri. Wajar kalau sudut penglihatan kita tentang sebuah kata ‘pengertian’ menjadi berbeda. Pada akhirnya aku hanya bersyukur dengan seluruh perbedaan ini yang tidak mungkin membuatnya simetris. Simetris mungkin akan hanya akan menjemukan keduanya. Atau hanya akan menimbulkan perang kompetisi karena tak ada beda. Kupikir, seharusnya semua beda ini membuat kita belajar mengerti.

Kini aku mengerti ke mana arah perbedaan ini kau arahkan. Kamu sedang mengajakku untuk simetris, sedangkan aku berada di beberapa langkah di belakangmu. Dan kamu ingin saat ini juga aku menjelma menjadi cerminan pola pikirmu. Aku tak mampu, bukan karena menganggapmu tidak benar. Aku mengagumimu, tapi tak bisa menjelma menjadi persis dirimu. Aku sedang menyelaraskan diriku denganmu. Tapi waktuku sudah habis. Bahkan aku tak sadar waktuku sudah habis, tanpa tanda darimu. Sekali lagi memasrahkan perasaan padamu ini pada-Nya, dan bukan padamu.

Sampai sekarang, masih mensyukurimu, mensyukuri karakter kita masing-masing, mensyukuri usaha kita selama ini untuk beriringan, mensyukuri waktu dan pelajaran berharga denganmu.

*dan kali ini...

Waktu kita masih banyak. Tapi bukan untuk kita habiskan berdua. Kau dengan dirimu, dan aku dengan diriku. Masing-masing

Sabtu, 09 Juli 2011

Memantaskan Diri Untuk Berharap




Harapan

Manusia hidup dengan harapan, atau kadang harapan itulah yang memberi kekuatan pada manusia untuk bisa terus hidup. Jika sudah hilang harapan dari hidup seseorang, saya pastikan hidupnya hanya berjalan seperti robot. Mengalir begitu saja, tanpa ia tau apa yang dia ingin raih. Pastilah rasanya kosong tak bermakna.
Dan ketika harus merinci harapan-harapan apa saja yang kita miliki, kalau tidak terlalu depresi sehingga kita masih bisa berharap, pastilah ada segunung harapan dan cita-cita yang siap kita usahakan. Atau setidaknya yang bisa kita curahkan pada Allah, karena memang Allah lah pemberi keputusan akhir.

Misalnya kita berharap memiliki pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, sekolah di tempat yang diidamkan, menikah dengan orang yang tepat dan mencintai kita karena Allah, memiliki anak-anak yang lucu dan sholeh, memiliki banyak teman yang tulus dan baik hati, memiliki tetangga yang mendamaikan, dan masih ada berapa saya tak tau yang bisa kita harapkan.

Sekarang pertanyaannya, pantaskah kita mengharapkan itu semua?
Sudah kah kita berdedikasi pada setiap pekerjaan (sekecil apapun) yang sekarang sedang kita lakukan, sehingga kita pantas mendapat pekerjaan yang lebih hebat dan otomatis ada tanggung jawab dan tuntutan-tuntutan lain yang lebih besar padanya?

Sudah amanah kah kita terhadap ilmu-ilmu yang kita peroleh selama ini, sehingga kita pantas mendapat ilmu yang lebih tinggi lagi? Dimana ilmu yang lebih tinggi pasti berbanding lurus dengan amanah yang sandarkan pada kita, seberapa besar kita bisa memanfaatkan ilmu itu untuk kebaikan, dan menjadikan ilmu itu sebagai berkah.

Sudah baik dan bertaqwa kah kita, sehingga berani mengharapkan kehadiran orang baik dan mencintai kita hanya karena Allah untuk menjadi teman berbagi kehidupan dunia akhirat kita kelak?

Sudah sholeh kah kita, sehingga kita berani berharap memiliki anak-anak yang sholeh lahir dari diri kita?

Sudah kah kita menjadi seorang teman yang baik, tulus, dan tak bergunjing, sehingga kita pantas memiliki teman yang baik dan tulus pula kepada kita?

Sudah kah kita menjadi tetangga yang baik bagi pemiliki rumah sebelah, sehingga mereka damai hidup berdampingan dengan kita, sehingga kita pantas berharap tetangga kita pun bersikap baik pada kita?

Sudah pantaskah kita?

Manusia memang memiliki kecenderungan cepat puas dengan apa yang dia berikan (usahakan), tapi tak pernah puas dengan apa yang dia terima. Akhirnya, kita pun terjebak pada kufur nikmat yang hanya merugikan. Kita sering terlalu sibuk menuntut orang lain bahkan kadang dengan sombongnya kita menuntut Allah, tapi kita selalu lupa menuntut diri sendiri.

Mungkin benar adanya pepatah semut di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Pastilah, karena gajah itu adalah diri kita sendiri, tanpa cermin yang jujur untuk melihat dan mengoreksi diri sendiri, kita tak akan bisa melihat bagaimana penampakan diri kita.
Memantaskan diri adalah jawaban. Agar kelak kita siap menerima jawaban doa-doa yang pasti telah Allah siapkan. Insya Allah :-)

Doa Anak-Anak Gaza di Pagi Hari




Tuhan
Pagi ini kami ingin sekolah
Kami rindu pada madrasah kami yang indah
Kami rindu pada cerita Lubna dan Antarah
Tentu juga Sirah Rasulillah


Pagi ini kami ingin secuil roti
Kami ingin sepotong keju
Setetes susu
Dan sebutir Tin dan Zaitun


Pagi ini kami ingin belaian cinta
Ayah kami tercinta
Paman kami tercinta
Kakek kami tercinta


Pagi ini kami ingin matahari
Yang cerah menyinari gaza
Dan mengusir segala kecemasan jiwa

O Tuhan, apakah mereka akan merampas juga
Matahari kami, atau menutup Gaza
Tanpa matahari
Sehingga tak ada lagi pagi bagi kami


Tuhan
Biarlah mereka mengucilkan kami dari dunia
Asal setiap pagi
Kau masih tersenyum pada kami
Dunia tidak penting lagi bagi kami


Tuhan
Kami tidak pernah mengemis kemerdekaan pada siapapun
Karena kami telah memiliki kemerdekaan itu
Setiap kami menyebut nama-Mu
Dan setiap kami rukuk dan sujud kepada-Mu


Tuhan pagi ini kami tetap tersenyum kepada-Mu
Maka tersenyumlah kepada kami


(Puisi ini pernah dibacakan dalam Konferensi Internasional Pengajar Bahasa Arab Dunia Islam, di Universitas Al Azhar Indonesia, Juli 2010. Dibacakan kembali pada acara Asia-Pacific Community Conference for Palestine di Jakarta, 29 Juni 2011)

betapa matahari  membuka berjuta kesempatan. Setiap pagi adalah harapan. Dan Allah masih menyisakan pagi ini untuk kita rasakan sejuknya dengan setenang-tenangnya hati. Alhamdulillah :) Sampai bertemu lagi pagi esok hari. Insya Allah

Chat With Sukma

Ini blog biasa, dengan misi sederhana..menulis sajalah. Semoga bermanfaat....=)