Sabtu, 09 Juli 2011
Memantaskan Diri Untuk Berharap
Harapan
Manusia hidup dengan harapan, atau kadang harapan itulah yang memberi kekuatan pada manusia untuk bisa terus hidup. Jika sudah hilang harapan dari hidup seseorang, saya pastikan hidupnya hanya berjalan seperti robot. Mengalir begitu saja, tanpa ia tau apa yang dia ingin raih. Pastilah rasanya kosong tak bermakna.
Dan ketika harus merinci harapan-harapan apa saja yang kita miliki, kalau tidak terlalu depresi sehingga kita masih bisa berharap, pastilah ada segunung harapan dan cita-cita yang siap kita usahakan. Atau setidaknya yang bisa kita curahkan pada Allah, karena memang Allah lah pemberi keputusan akhir.
Misalnya kita berharap memiliki pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, sekolah di tempat yang diidamkan, menikah dengan orang yang tepat dan mencintai kita karena Allah, memiliki anak-anak yang lucu dan sholeh, memiliki banyak teman yang tulus dan baik hati, memiliki tetangga yang mendamaikan, dan masih ada berapa saya tak tau yang bisa kita harapkan.
Sekarang pertanyaannya, pantaskah kita mengharapkan itu semua?
Sudah kah kita berdedikasi pada setiap pekerjaan (sekecil apapun) yang sekarang sedang kita lakukan, sehingga kita pantas mendapat pekerjaan yang lebih hebat dan otomatis ada tanggung jawab dan tuntutan-tuntutan lain yang lebih besar padanya?
Sudah amanah kah kita terhadap ilmu-ilmu yang kita peroleh selama ini, sehingga kita pantas mendapat ilmu yang lebih tinggi lagi? Dimana ilmu yang lebih tinggi pasti berbanding lurus dengan amanah yang sandarkan pada kita, seberapa besar kita bisa memanfaatkan ilmu itu untuk kebaikan, dan menjadikan ilmu itu sebagai berkah.
Sudah baik dan bertaqwa kah kita, sehingga berani mengharapkan kehadiran orang baik dan mencintai kita hanya karena Allah untuk menjadi teman berbagi kehidupan dunia akhirat kita kelak?
Sudah sholeh kah kita, sehingga kita berani berharap memiliki anak-anak yang sholeh lahir dari diri kita?
Sudah kah kita menjadi seorang teman yang baik, tulus, dan tak bergunjing, sehingga kita pantas memiliki teman yang baik dan tulus pula kepada kita?
Sudah kah kita menjadi tetangga yang baik bagi pemiliki rumah sebelah, sehingga mereka damai hidup berdampingan dengan kita, sehingga kita pantas berharap tetangga kita pun bersikap baik pada kita?
Sudah pantaskah kita?
Manusia memang memiliki kecenderungan cepat puas dengan apa yang dia berikan (usahakan), tapi tak pernah puas dengan apa yang dia terima. Akhirnya, kita pun terjebak pada kufur nikmat yang hanya merugikan. Kita sering terlalu sibuk menuntut orang lain bahkan kadang dengan sombongnya kita menuntut Allah, tapi kita selalu lupa menuntut diri sendiri.
Mungkin benar adanya pepatah semut di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Pastilah, karena gajah itu adalah diri kita sendiri, tanpa cermin yang jujur untuk melihat dan mengoreksi diri sendiri, kita tak akan bisa melihat bagaimana penampakan diri kita.
Memantaskan diri adalah jawaban. Agar kelak kita siap menerima jawaban doa-doa yang pasti telah Allah siapkan. Insya Allah :-)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Chat With Sukma
Ini blog biasa, dengan misi sederhana..menulis sajalah. Semoga bermanfaat....=)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar