Sabtu, 21 Mei 2011

Menemukan Akhir Cerita (Cinta)


Bercerita, semua manusia pasti tak akan menemukan kesulitan saat merangkai kata-kata. Setidaknya untuk sebuah cerita sederhana keseharian atau sekedar berbagi berita kecil. Bahkan kadang, manusia tak sadar telah menjalin kata per kata untuk menguntai sebait atau berlembar-lembar cerita. Cerita tentang apapun, bisa tentang siapapun, dengan setting dimanapun dan kapanpun. Terserah.

Awal sebuah cerita, bagi saya akan lebih sah dimulai dengan ketidaksengajaan, natural, mengikuti alur alami, dan ikuti saja intuisinya. Nikmati setiap belokan rasa dan tikungan logika di awal cerita. Tulus.


Menurut saya, awal yang terlalu teratur dan dipikirkan tidak akan menemukan kelanjutan yang menarik. Awal yang terlalu diatur mungkin akan terlihat dibuat-buat, penuh syarat, dan tampak dipaksakan. Selanjutnya, cerita hanya berbentuk balok-balok, bergaris tegak lurus tegas, dan bersudut-sudut. Kaku.

Ketidakteraturan yang saya bayangkan di sini bukan mutlak berantakan. Bukan berbentuk arogansi yang tak berasa, apalagi sampai kehilangan nilai. Jelas ada jalur dan batas yang harus diruntut sejak awal cerita. Atau kalau tidak, silakan ambil resiko nanti di alur selanjutnya. Karena ada pertanggungjawaban atas apapun yang telah dimulai, bukan?

Selanjutnya, tugas si pencerita untuk melanjutkan apa yang telah dimulainya. Mengarahkan awal yang telah terambil dengan sebaik-baik dan sebenar-benarnya cara. Di sinilah sebaiknya logika ikut menyeimbangkan lambungan batin. Hadirkan sang logika dan akal di tengah hiruk pikuk nyanyian bahagia si batin.

Dan yang terpenting adalah tokoh utama, sang Pemilik hati dan akal. Sang Maha Mengatur dan Maha Bijaksana, sebaik-baiknya pengatur hidup. Hadirkan Dia sebagai pemilik cerita, dan tempat pengembalian semua yang hanya menjadi milik-Nya. Saya yakin ketidaksengajaan di awal tadi merupakan bentuk kuasaNya. Jadi, tak akan bisa hilang Ia hingga akhir cerita, bahkan hingga akhir dunia. Tuhan.

Sampailah pada punutup cerita. Penutup awal yang tadi terambil karena tak sengaja. Setelah berlama-lama mengelola ketidaksengajaan, setelah peluh dan air mata menjadi bayaran, akhirnya sampai pada akhir cerita. Akhir yang tak mengakhiri apapun, akhir yang membuat pelaku-pelakunya menemukan lembar baru untuk merangkai cerita selanjutnya.

Sungguh, bahagia dan sedih adalah pilihan. Tapi akhir adalah kepastian. Kepastian yang memang harus diambil sekaligus dengan seluruh pertanggungjawabannya. Akhir adalah kepastian, bukan menjadi syarat atau bahkan bahan timbal balik.

Untuk itu, saya pun tetap mengandalkan intuisi dalam menemukan ending.
Saya menemukan banyak ending tadi, kemarin, dan kemarin dulu. Banyak akhiran yang bisa saya ambil tapi akhirnya saya lewati begitu saja.

Malam tadi, kembali saya menemukan akhiran. Sebuah garis tegas dan pasti.  Tak akan menunggu lama lagi, saya menyambarnya begitu saja.  Lalu seketika menjerebabkan hati pada Pemilik Hakiki. Dan saat ini di tangan saya telah ada segenggam cerita hingga chapter terakhir. Akhir.

Sabtu, 16 April 2011

Meminjam Mesin Penenun Hujan Milik Frau ^.^



Masih tentang sebuah fenomena alam favorit kebanyakan orang. Tak terkecuali saya. Hujan.
Mencintai sepaket mendung, sejuk, basah, pelangi, dan tentu sebongkah berkah.

Dan lagu Frau, Mesin Penenun Hujan ini, seperti memberi kontak jiwa dan raga antara hujan itu sendiri dan saya (tentu saja karena saya yang bersenandung, maka sah bahwa 'aku' di sini adalah saya ^.^)

dan bernyanyilah saya...

Merakit mesin penenun hujan
Hingga terjalin, terbentuk awan
Semua tentang kebalikan
Terlukis, tertulis, tergaris di wajahmu

Keputusan yang tak terputuskan
Ketika engkau telah tunjukkan
Semua tentang kebalikan
Kebalikan di antara kita

Kau sakiti aku, kau gerami aku,
Kau sakiti, gerami, kau benci aku
Tetapi esok nanti kau akan tersadar
Kau temukan seorang lain yang lebih baik
Dan aku kan hilang, ku kan jadi hujan
Tapi takkan lama, ku kan jadi awan

Merakit mesin penenun hujan
Ketika engkau telah tunjukkan
Semua tentang kebalikan
Kebalikan di antara kita
 

dan saya...adalah hujan itu sendiri. Yang nantinya karenamu, saya akan berubah menjadi awan.

Kamis, 07 April 2011

Berawal Dari Gundul-Gundul Pacul


Siang kemarin tak sengaja membaca sebuah note Facebook milik dosen saya. Judulnya memancing, #jurusgundul-gundul Pacul. Siapa orang jawa yang tak kenal lagu ini. Saat masih kecil, lagu ini jadi salah satu lagu dolanan bocah yang sangat sering saya dengar dan nyanyikan. Ntah, anak kecil jaman sekarang masih kah kenal dengan tembang ini. Bukan skeptis dan pesimis, tapi yang saya tau anak-anak kecil masa sekarang lebih kenal dan lebih hapal dengan lagu-lagu band dewasa atau remaja bertema cinta atau pacaran.

Yah, saya sedang tidak akan membahas pertumbuhan anak yang tidak sehat ini. Membahas tembang jawa yang liriknya paling banyak hanya 4 sampai 6 baris ini lebih menarik perhatian saya saat ini. Mungkin masih sedikit orang yang paham ternyata lagu Gundul-gundul Pacul menyimpan pelajaran dan filosofi yang sangat dalam. Bahkan jika melihat realitas saat ini, tak berlebihan jika lagu ini saya anggap sebagai ramalan masa depan yang diterawang pada masa lalu. Realitas apa? Tentu saja realitas negeri ini yang sudah lama kehilangan sosok pemimpin sejati. Bagaimana kah idealnya pemimpin sejati itu? Nah, note ini mungkin akan menjawab pertanyaan normatif ini.

**

#JurusGundul-gundulPacul

Masih ingat lagu "Gundul-gundul Pacul"?
"Gundul gundul pacul-cul, gembelengan.
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan.
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar...

Tembang Jawa ini konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yg dalam dan sangat mulia.

Gundul: adalah kepala plonthos  tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota.

Sedangkan pacul: adalah cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat.  Pacul: adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani.

Gundul pacul artinya: bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas).

 Artinya bahwa: kemuliaan seseorang akan sangat tergantung 4 hal, yaitu: bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.

1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.

2.Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.

3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.

4. Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil.

Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.

Gembelengan artinya: besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.

?GUNDUL2 PACUL CUL artinya orang yang dikepalanya sdh kehilangan 4 indera tersebut yang mengakibatkan sikap berubah jadi GEMBELENGAN (= congkak). NYUNGGI2 WAKUL KUL (menjunjung amanah rakyat) selalu sambil GEMBELENGAN (= sombong hati), akhirnya WAKUL NGGLIMPANG (amanah jatuh gak bisa dipertahankan) SEGANE DADI SAK LATAR (berantakan sia2, tak bisa bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat).

Note ini bisa dibaca di sini

**
Note di atas menyebutkan bahwa tembang ini adalah ciptaan Sunan Kalijaga pada sekitar tahun 1400-an. Dan di beberapa situs hasil selancar saya, tembang ini diciptakan oleh seseorang bernama R.C. Hardjosubroto. Dari namanya, sudah bisa dipastikan beliau adalah orang Jawa. Jadi ada dua versi tentang siapa pencipta tembang ini. Tak perlu diperdebatkan mana yang benar dari keduanya, lebih baik kita pelajari makna lirik dari tembang ini.

Belakangan kita digalaukan oleh sikap anggota dewan terhormat yang beberapa kali mengecewakan rakyat. Rakyat, yang seharusnya mereka wakili aspirasi dan kepentingannya. Rakyat, yang seharusnya menjadi suara Tuhan. Kenaikan gaji, anggaran mobil baru, laptop baru, studi banding ke luar negeri, dan yang terakhir adalah rencana pembangunan gedung baru DPR senilai lebih dari Rp 1 T.

Pun saya sedang tidak ingin mendebat lagi rencana ini. Sudah banyak orang yang membicarakannya, bisa ditemui dimana saja orang-orang yang membicarakannya. Mulai dari TV, internet, koran, sampai warung angkringan, tak luput dari tema gedung baru ini.

Saya lebih ingin membicarakan tentang matinya indera para wakil rakyat yang terhormat. Tak lagi bisa melihat rakyatnya yang bersyukur masih bisa menyantap nasi aking, tak mendengar jutaan nasehat dari orang lain di luar, hidung yang tak terlatih mencium hal-hal baik, mulut yang kadang berkata tak adil sampai menyakiti pendengarnya, dan kulitnya lupa betapa kasar dan terjalnya penderitaan.

Sudah mati kelima panca inderanya, mati pula batinnya. Mati rasa pada perasaan orang lain hingga hilang ilmu empati di dalam dirinya. Jadilah sesosok makhluk tanpa indera dan hati. Naudzubillah..

Sebaiknya saya cukupkan kritik-kritik ini dan memulai otokritik. Sudahkah saya mengoptimalkan seluruh indera kepunyaan saya? Mungkin fungsinya telah maksimal, secara fisik saya alhamdulillah tak berkekurangan dan sangat mensyukurinya. Semuanya berfungsi sesuai tugasnya, mata saya melihat, telinga pun mendengar semua bunyi, hidung mampu mencium bau-bau, mulut dan lidah yang bisa berkata, dan peraba saya pun bisa menyentuh dengan baik. Sempurnakah? Saya jawab tidak.


Tidak, karena batin masih mudah terbang dan jatuh tak stabil. Kadang lupa bersyukur, terjebak iri, didera benci, dan meringkuk malas. Batin ini rasanya masih terus saja belajar dan siap diuji. Dan saya pun menyimpulkan tali-tali kusut ini dengan menguatkan batin dan hati dengan iman.

Apalagi di saat-saat sekarang di mana akal dan ilmu pengetahuan mulai menjadi kiblat kehidupan. Kemajuan peradaban diukur terbatas dari kemajuan teknologi hasil olah akal pikir manusia.

Adapun pendefinisian akal seorang ahli hadist

Syaikh Al Albani berkata,

“Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.


Pengkultusan kepada akal jadi sumber kemudhorotan. Kenapa? Karena akal tak jarang melupakan peran hati dan batinnya. Karena akal kadang mengesampingkan hal-hal yang tak terjangkau oleh indera. Padahal akal yang seharusnya menjadi penyempurna manusia sebagai makhluk Tuhan malah menjadi ranjau karena menolak hal-hal yang jauh lebih tinggi dari jangkauan pikiran manusia.

Mendewakan akal beginilah yang kadang menyamarkan kontribusi batin dalam berkehidupan. Batinlah yang akan membawa pada iman. Iman yang yang membawa kita pada Tuhan dan membawa kita pada hakekat seorang manusia yang bukan apa-apa tanpa Tuhan.



Sekedar menutup, izinkan saya mengutip seucap doa, Ya Allah Ya Tuhan Semesta Alam dan Isinya. Sang pemilik fisik dan jiwa seluruh umatnya. Berkahilah indera saya. Tuntunlah indera dan akal saya di jalan tertinggimu. Perkayalah batin saya dengan iman dan taqwa. Supaya akal dan indera saya bergerak atas dasar batin yang beriman dan bertawa. Amin.

Senin, 04 April 2011

Kau di Dalam Ruang Penantianku

kau..
ya, kau..jangan menoleh pada siapapun. kau lah yang kumaksud.
luang kah waktu mu?
sebentar saja, ini akan berakhir sebelum kau menyadarinya..
bisa kah kita bicara?
bicara tentang triliunan detik yang kau beri pada dunia, dan miliaran detik sisanya yang kau bagi padaku.

kau..
tariklah sebuah senyum, hingga siapapun akan diam menikmatimu..
biar apapun di alam ini merenungkan dirimu.

kau..aku tak mengenalmu. aku hanya terikat pada sebuah senyum dan sebagian sisa waktu yang kau bagi padaku.
kau dan aku hanya sedang belajar saling menerjemahkan waktu.
kau, pastikan dirimu nyaman di situ. di luasnya ruang pencarianku
insya Allah

Senin, 28 Maret 2011

Serba Pertama Kali





Sampai usia yang kini 23 tahun, sudah ratusan momen 'pertama kali' yang saya lalui. Pertama kali belajar berdiri, kata pertama yang bisa saya ucapkan saat kecil dulu, atau hari pertama masuk sekolah. Semuanya menjadi momen yang meninggalkan jejak ketika  kini saya bisa berbicara banyak bahkan mendebat. Semua yang pertama itu menjadi pijakan saya hingga akhirnya kini bisa berjalan ke manapun bahkan melompat hingga berlari. Apapun yang pertama kali telah mengantarkan saya menjadi mahasiswa tingkat akhir dan juga berkesempatan masuk di dunia kerja.

Setiap momen pertama kali bagi saya bisa menjadi sangat spesial. Tak peduli momen itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, rasa spesialnya masih bisa saya rasakan hingga saat ini. Mungkin beberapa ada yang sudah terlupakan, namun saya memutuskan untuk mempertahankan memori tentang banyak momen pertama kali saya. Sensasi perasaan yang terasa saat melakukan suatu hal untuk yang pertama kalinya adalah sayang untuk dilupakan begitu saja. Sekedar intermezo, saya kebetulan penganut percaya pada saya bisa melupakan siapapun atau apapun, tapi tidak untuk melupakan perasaan yang pernah saya rasakan. Mungkin ini yang membuat saya kadang sukses menjadi seorang melankolis. hehe.,

Kembali bicara tentang momen pertama kali, dari ratusan kali momen pertama kali yang sudah saya lalui, saya akan bercerita tentang beberapa di antaranya yang kebetulan sedang teringat.

Dulu, saat pertama kali saya masuk sekolah dasar adalah salah satu momen favorit saya. Saat kecil dulu, saya tidak menganggap masa TK saya sebagai sekolah. Yang saya pikirkan tentang sekolah saat itu adalah buku tulis bergaris dan pensil, bukan sekedar buku bergambar atau buku latihan baca yang setiap lembarnya hanya ada 3 sampai 5 kata yang dibaca per-suku kata sampai berulang-ulang.

Saya juga tidak menganggap gedung besar dengan kolam renang di bagian belakang gedung, serta banyak arena permainan itu menjadi sekolah saya. Tiap pagi saya berangkat, saya merasa berangkat main. Bedanya saya berseragam dan sebagian waktunya saya harus duduk tenang di dalam kelas. Selebihnya, saya bermain dan bernyanyi. Dan kebetulan saya lupa saat pertama saya masuk sekolah. Ini yang membuat saya percaya bahwa ingatan saya dimulai saat usia saya 5 tahun. Ini karena kebetulan saya juga tak ingat kalau ternyata kakak saya pernah begitu protektifnya pada saya saat saya masih balita. Bahkan menurut cerita mama, kakak tidak memperbolehkan orang lain mengajak saya bermain atau hanya sekedar menggendong saya. Saya benar-benar lupa untuk yang satu itu, yang teringat masa kecil saya dengan kakak habis untuk berebut apapun.

Ini mengapa saat pertama kali saya masuk SD, saya begitu antusias. Sekarang saya kadang malu sendiri mengingat bahwa saya dulu adalah anak kecil yang ambisius dan sombong. Saya begitu bangga karena sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar di hari pertama masuk sekolah. Kebetulan saat masih TK saya ikut kakak les privat ke tetangga. Dan supaya tidak mengganggu kakak, saya pun diberi buku tulis dan pensil untuk belajar membaca dan menulsi. Bu Lis, beliaulah guru membaca saya di rumah selain mama.

Terlepas dari kesombongan masa kecil saya, rasa antusias hari pertama masuk sekolah dulu masih bisa saya rasakan sekarang. Bagaimana saking semangatnya, saya berkali-kali berteriak ‘bu guru..bu guru..saya sudah selesai menulisnya’ setiap bu guru saya membacakan sebuah kata yang harus kami tulis setelahnya. Rasa antusias masuk kelas pertama kalinya, saat saya memperkenalkan nama saya pada teman-teman kelas dan pada bu guru. Rasanya sangat bersemangat  dan yakin bahwa saya bisa melaluinya dengan sebaik-baiknya. Dan bukti antusiasme berlebihan saya, saat pulang sekolah hari pertama, tas saya sampai ketinggalan di sekolah. Sampai di rumah saya baru sadar kalau tas dan semua isinya saya tinggalkan di bangku begitu saja karena sangat tak sabar bisa ikut masuk dalam barisan antri dengan teman-teman untuk mencium tangan bu guru dan berpamitan. Dan syukurlah, itu menjadi yang pertama dan terakhir saya meninggalkan tas di sekolah. :)

Selain mengenang saat-saat pertama kali yang pernah saya alami. Saya juga senang bisa menjadi bagian dari momen pertama kali yang dialami teman saya. Beberapa di antaranya, saat saya menemani teman saya yang baru pertama kali ke candi Prambanan, pertama kali ke Borobudur, atau pertama kali nonton bioskop. Dan percayalah, saya yang sudah berkali-kali ke candi Prambanan, Borobudur, dan nonton bioskop pun mendapat energi ‘momen’ pertama kali dari teman saya, sehingga antusiasme saya pun layaknya saya mendatangi tempat-tempat itu untuk pertama kalinya.

Sudah lama sekali saya merasakan sensasi rasa antusiasme yang tinggi saat melakukan hal baru atau setidaknya terlibat pada momen pertama kali seseorang. Mungkin hari pertama masuk kerja jadi yang terakhir. Atau beberapa minggu lalu saat saya dan Ayya menemukan pantai baru yang luar biasa indah di Gunung Kidul. Atau saat pertama berkenalan dengan Pak Lurah dimana saya sedang penelitian skripsi, yang kini beliau jadi salah satu idola saya. :)

Dan kebetulan malam tadi, saya mengalami moment pertama kali lagi. Untuk pertama kalinya saya masuk studio karaoke. Antusias tentu saja, apalagi teman-teman kantor saya ini yang juga berhasil mengompori karena tau saya belum pernah main karaokean. Saya pun bernyanyi sepuas saya, dengan atau tanpa mic. Walau tak terdengar lebih keras dari suara teman-teman saya lainnya, saya merasa sudah pol-polan konsisten berteriak-teriak selama 2 jam itu. Yah, saya sebut saja berteriak karena beberapa kali saking semangatnya sampai saya tak peduli pada nada.

Rasa ketagihan akan perasaan antusias seperti ini yang membuat saya bersemangat untuk melakukan banyak hal baru lagi nanti. Dan saya percaya, momen pertama kali adalah sebuah awal. Dengan kita berani melakukan hal-hal baru yang belum pernah kita lakukan sebelumnya, minimal kita akan terhindar dari perangkap kesombongan.

Mengapa? Karena menurut saya ada banyak hal di dunia ini yang sebenarnya bisa saya lakukan, tapi ntah dengan alasan apa sehingga saya melewatkannya. Sedangkan ada banyak orang yang sudah berani memulai dan berhasil. Terlepas dari apapun itu, sekecil apapun itu, berhasil atau tidak, sepanjang itu bukan hal yang negatif, saya merasa harus menghargai ratusan momen pertama kali yang pernah saya alami. Karena besar atau kecil, momen-momen itu yang membawa saya menjadi saya yang sekarang. Selamat mencari momen pertama kali kalian.,its my firt? How about yours?

Sabtu, 26 Maret 2011

Tenang Hati Dalam GenggamanNya :)



Sang hati..ntah sejak kapan saya mulai benar-benar menyadari keberadaannya. Mungkin saat pertama saya mulai mengenal banyak rasa selain sekedar rasa senang dan sedih..mungkin sejak saya mulai paham rasa memiliki yang disusul kehilangan, rasa sayang yang kadang tak berjarak dengan benci, atau misalnya rasa terkhianati setelah percaya. Hati, kau mulai dewasa..(seharusnya)

Namun kini lihatlah dirimu..Kau mulai mudah tersakiti, mudah mengeluh, seperti lupa pada rumus rasa riang yg dulu kau kuasai.

Hati..
Harus sampai sebening apa kau agar tuanmu ini tenang? harus seluas alam kah agar pemilikmu bijak? Hati...mungkin banyak orang berpikir luasmu harus seluas samudera, tapi saya memaksamu untuk harus lebih dari itu..seluas mungkin kau bisa, jangan berhenti apalagi menyempit.

Hati..
harus serendah apa kau supaya tak ada yang tersakiti oleh tingkah pemilik tulang rusuk pelindungmu? Biarlah kau rendah, tapi Allah meninggikanmu atas dasar taqwa.Hati..harus sekuat apakah hingga sang pemilikmu bisa selamat dari penyakit-penyakit rasa yang ada?

Hati..
ntah harus sebesar apa kau tumbuh agar tuanmu menguasai kitab ikhlas hingga akhir hayatnya. Hati...pelajarilah semua rasa yang telah sempat kau rasa selama hidup, jangan lelah belajar, jangan menyesal apalagi menyerah..

Mungkin si otak sudah banyak belajar, terasah sejak kecil dan kini pun ia bisa berpikir dengan lebih baik. Apakah karena si hati dulu tak ikut masuk kelas, sehingga pertumbuhannya lambat? hingga kerjamu kadang tak ubahnya anak kecil yang terperangkap dalam fisik dan otak yang terus menua..

Keluhan hati seperti tak pernah berujung, semakin tua kau hanya lihai merasakan rasa sedih dan kecewa. Mulai lupa pada rumus kebahagiaan yang sebenarnya..
Tuhan..
diri saya ini adalah milikMu seutuhnya. Pun saya kembalikan hati ini, memasrahkannya pada sang Maha Memiliki..Saya akan berjalan dengan hati yang Kau genggam Ya Rabb, yang Kau Ridhoi..Itu lebih dari cukup.. Alhamdulillah :)


Rabu, 23 Maret 2011

Kami Bagai Bumi dan Langit :)

Perbedaan kami begitu besar, bagai bumi dan langit yang tak mungkin bersatu. Terlalu jauh jaraknya..Sudut yang mempertemukannya hanya mitos. Bahkan lengkungan pelangi tak pernah benar-benar menjangkau bumi. Semua yang berawal dari bumi akan kembali ke bumi. Dan semua yang muncul dari langit, pun akan lenyap di atas sana, searah dengan rotasinya.

Bumi dan langit adalah dua ruang dengan kemasing-masingannya. Mereka memiliki bahasa yang berbeda, punya lantunan doa yang tak sama. Bumi dengan gravitasinya terbiasa diinjak, dan di atas sana langit bangga karena tak pernah tergapai. Bahkan manusia menciptakan sosok jack dan pohon kacang raksasanya untuk berkhayal tentang menggapai langit.

Yang bisa menyatukan bumi dan langit hanya khayal dan mitos buatan manusia. Dongeng sebelum tidur pun ditulis agar saat tertidur akan bermimpi menggapai langit dalam arti sebenarnya.

Namun sesaat teringat akan seorang teman pecinta hujan. Bagaimana ia bercerita tentang pesan langit yang disampaikan kepada bumi lewat hujan, bagaimana bumi menerima hujan sebagai berkah. Itu artinya bahkan jarak bumi dan langit bukannya tak terhingga.  Keduanya memang berjauhan, tapi menemukan cara yang penuh berkah (hujan) untuk menyampaikan manfaatnya.

Dan beberapa bulan kemudian, saya menerima pesan berikut:

Kebijaksanaan Illahi adalah takdir dan suratan nasib yang membuat kita saling mencintai satu sama lain. Karena takdir itulah setiap bagian dari dunia ini bertemu dengan pasangannya.

Dalam pandangan orang-orang bijak, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan; bumi memupuk apa yang dijatuhkan oleh langit.  Jika bumi kekurangan panas, maka langit mengirimkan panas kepadanya; jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembapan, langit memulihkannya. Langit memayungi bumi layaknya seorang suami yang menafkahi istrinya; dan bumi pun sibuk dengan urusan rumah tangga; ia melahirkan dan menyusui segala yang telah ia lahirkan.

Syair Jallaludin Rumi (dalam serial Cinta Anis Matta)

Kemudian hari ini, saya tak akan lagi memakai analogi bumi dan langit untuk menjelaskan tentang ketidakmungkinan.

Saya akan mengingat bagaimana langit menyiramkan hujannya pada bumi, bagaimana langit memberikan sedikit awannya untuk melindungi bumi dari terik, bagaimana langit memberikan lembabnya agar bumi tetap hidup, dan bagaimana langit melengkapi bumi.


Akhirnya saya setuju, dirinya dan saya memang bagaikan langit dan bumi. Dia langit dan saya adalah bumi :)

Chat With Sukma

Ini blog biasa, dengan misi sederhana..menulis sajalah. Semoga bermanfaat....=)